Pemeliharaan ternak ruminansia, skala kecil atau besar, selalu menuntut pasokan hijauan pakan ternak yang cukup jumlah dan mutunya secara rutin setiap hari. Untuk itu maka pemelihara ternak ruminansia harus mempunyai sumberdaya pakan hijauan yang dapat menjamin kontinyuitas pasokan pakan untuk ruminansia yang mereka pelihara. Hingga masa sekarang, pada semua benua masih didapatkan pemanfaatan padang rumput sebagai sumberdaya pakan untuk produksi ternak ruminansia dengan sistem penggembalaan. Namun, pola ini hanya dapat berlangsung selama padang rumput tersedia secara ekstensif. Pada lokal-lokal tertentu di dunia, padang rumput tidak lagi tersedia secara ekstensif sehingga pemelihara ruminansia harus bergantung pada beragam sumberdaya hijauan pakan selain padang rumput. Bagaimana beragam jenis sumberdaya hijauan yang ada dimanfaatkan oleh penggunanya, aksesibilitas petani-ternak terhadap sumberdaya yang tersedia serta implikasinya terhadap upaya perbaikan pasokan hijauan pakan ternak merupakan suatu kompleksitas tersendiri. Untuk mengenal hal tersebut maka diskripsi masing-masing cara pemberian pakan hijauan untuk ternak ruminansia beserta sumberdaya yang digunakannya disajikan dalam uraian ini.
1. Pola pemberian pakan hijauan dan sumberdayanya
Secara umum, pola pemberian pakan hijauan untuk ternak ruminansia dibedakan menjadi dua yaitu penggembalaan (grazing) dan tebas angkut (zero grazing atau cut and carry). Diantara kedua cara pemberian pakan itu juga dijumpai cara pemberian pakan kombinasi antara grazing dan tebas angkut yang dipraktekkan oleh petani-ternak pada lokasi-lokasi tertentu. Masing-masing pola pemberian pakan tersebut mempunyai hubungan dengan jenis-jenis sumberdaya yang tersedia untuk dimanfaatkan seperti disajikan dibawah ini.
1.1. Penggembalaan.
Diskripsi
Penggembalaan, pada prinsipnya adalah cara pemberian pakan untuk ternak ruminansia yang dilakukan dengan melepaskan ternak pada padang rumput alam atau padang rumput buatan. Ternak bebas memilih sendiri atau melakukan seleksi terhadap hijauan pakan yang tersedia di padang rumput untuk dikonsumsinya. Oleh sebab itu, cara pemberian pakan secara digembalakan juga disebut dengan pemberian pakan secara prasmanan (free choice).
Pemberian pakan ruminansia secara digembalakan merupakan ciri utama sistem pemeliharaan ruminansia yang dilakukan oleh peternak di Australia, Amerika ataupun di Eropa. Pastura yang digunakan dapat didominasi oleh jenis-jenis rumput alam atau rumput introduksi. Cara penggembalaan yang dilakukan beragam antar ranch atau antar wilayah sehingga dikenal beberapa cara penggembalaan sebagai berikut:
1.1.1. Continuous grazing. Penggembalaan ini merupakan suatu sistim yang ekstensif dimana kelompok ternak ruminansia berada di padang rumput atau pastura dalam periode yang lama. Pola ini paling umum dijumpai di kawasan tropis ataupun sub-tropis. Besarnya kelompok ternak relatif konstan dan jumlah anggota kelompok biasanya disesuaikan dengan produksi hijauan maksimum pada musim hujan. Pada musim kemarau, saat produksi hijauan menurun, maka jumlah kebutuhan hijauan pakan ternak yang merumput dapat melebihi jumlah hijauan yang tersedia di pastura. Kondisi ini dinamakan over-grazing (penggembalaan berlebih) yang akibatnya ternak mengalami kekurangan pakan sehingga produktivitasnya menurun. Berlawanan dengan over-grazing, pastura dapat mengalami under-grazing (penggembalaan kurang) yaitu jika kebutuhan pakan dari kelompok ternak yang digembalakan lebih rendah dari kemampuan pastura menyediakan hijauan. Pada kondisi ini maka pertumbuhan hijauan pada pastura menjadi tidak seragam karena ruminansia cenderung melakukan spot grazing yaitu merumput pada area tertentu dari pastura. Hijauan pada bagian pastura yang biasa dirumput akan mengalami pertumbuhan kembali (regrowth) sehingga mutunya lebih tinggi (karena umurnya yang relatif muda) dibandingkan rumput di area yang tidak dirumput. Jika tidak dirumput maka hijauan menjadi tua dan mutunya menurun. Secara total maka terdapat bagian padang rumput yang hijauannya muda dan bergizi tinggi dan bagian lain yang hijauannya sudah tua dan bergizi rendah. Kondisi semacam itulah yang disebut dengan keadaan pastura yang tidak seragam. Perlu dicatat juga bahwa continuous grazing pada kawasan lembab atau basah (humid) dapat meningkatkan akumulasi parasit eksternal dan internal serta infestasi cacing nematoda yang merugikan kesehatan ternak. Jika ternak muda merumput bersama ternak dewasa pada pastura yang sama maka ternak yang muda dapat mengalami infestasi parasit berat sehingga pertumbuhannya terhambat (retarded growth).
1.1.2. Rotation grazing. Penggembalaan ini adalah cara penggunaan padang rumput secara intensif dengan tujuan untuk memanfaatkan pastura secara lebih optimal dibandingkan continuous grazing. Spot grazing seperti yang terjadi pada continuous grazing diupayakan untuk dikurangi dengan memaksa ternak mengkonsumi semua hijauan yang tersedia pada pastura. Pada pola ini, pastura dibagi menjadi unit-unit dan masing-masing unit disebut paddock. Antar unit itu dipisahkan dengan pagar. Ternak dibiarkan merumput pada unit pertama secara merata pada semua bagian paddock hingga tanaman hijauan yang tersisa mempunyai ketinggian relatif homogen. Kemudian ternak dipindahkan ke unit (paddock) yang kedua; demikian seterusnya. Pada saat ternak kembali lagi ke unit pertama maka hijauan pada unit ini telah tumbuh dengan seragam sehingga mutunya relatif homogen. Lama waktu ternak berada pada suatu paddock tidak ada ketentuan yang standar. Waktu tersebut dapat beragam tergantung species hijauan, kontinyuitas ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman, kesuburan lahan serta pemupukan. Penerapan pola penggembalaan ini harus mempertimbangkan karakter phenologis dan morphologis tanaman, tekanan penggembalaan serta potensi tanaman untuk tumbuh kembali setelah dirumput (regrowth potential). Pelaksanaan rotation grazing membutuhkan fleksibilitas yang mengatur periode pastura untuk dirumput dan istirahat (tidak dirumput) sehingga pertumbuhan kembali tanaman hijauan terjamin dengan baik. Pada periode istirahat, kegiatan-kegiatan manajemen produksi hijauan pakan yang diperlukan seperti pemupukan, peremajaan atau pemupukan dapat dikerjakan.
1.1.3. Leader-follower groups. Pada pola rotation grazing, kelompok ternak dibagi menjadi dua grup yaitu yang berproduksi tinggi (misalnya sapi perah yang sedang laktasi atau sapi yang sedang digemukkan) dan yang berproduksi rendah (misalnya sapi perah yang sedang kering atau sapi-sapi cadangan untuk mengganti sapi yang berproduksi tinggi). Grup berproduksi tinggi dimasukkan terlebih dahulu ke paddock ke satu agar dapat mengkonsumsi bagian tanaman yang baru tumbuh dan bermutu tinggi. Mereka dibiarkan merumput di paddock ke satu hingga sekitar setengah bagian hijauan yang tersedia habis dikonsumsi. Kemudian mereka dipindahkan ke paddock ke dua. Pada saat itu, grup ternak yang berproduksi rendah dimasukkan ke paddock ke satu untuk mengkonsumsi sisa tanaman pakan yang ada. Pola ini memungkinkan ternak-ternak ruminansia dengan produksi tinggi untuk mengkonsumsi bagian hijauan bermutu tinggi yang tersedia di pastura.
Gambar 1. Pagar listrik di pastura |
1.1.4. Strip grazing atau ration grazing. Pola ini adalah bentuk rotation grazing yang paling ekstrim. Kelompok ternak dibiarkan merumput pada suatu unit kecil pastura yang dibatasi dengan pagar listrik (electric fence) seperti disajikan pada Gambar 1. Ternak diijinkan merumput hijauan yang tersedia hingga sisa tanaman mencapai ketinggian tertentu. Kemudian pagar dipindahkan untuk membentuk unit baru untuk dirumput; demikian seterusnya. Umumnya, unit baru atau pemindahan pagar dilakukan setiap hari. Pada berbagai lokasi, seperti di kawasan lembah Meksiko strip-grazing tidak menggunakan pagar listrik tetapi ternak digembalakan oleh penggembala yang secara aktif terus memindahkan ternak ke unit-unit pastura baru untuk merumput. Pola ini memungkinkan pemanfaatan hijauan yang tersedia mendekati maksimum dan menghasilkan pertumbuhan hijauan tanaman yang seragam.
1.1.5. Deferred grazing. Pada pola ini sebagian area pastura atau paddock dialokasikan untuk mengakumulasi standing-hay yaitu tegakan tanaman yang dibiarkan mengering di lahan. Cadangan hay ini disiapkan untuk dirumput ternak jika diperlukan. Sebenarnya mutu standing-hay ini rendah karena tanaman sudah tua. Praktek pola penggembalaan semacam ini lebih ditujukan untuk memperbaiki padang rumput alam karena tanaman yang semakin tua (sebagai standing hay) mempunyai perakaran yang semakin kuat sehingga setelah tanaman dirumput oleh ternak masih berpotensi tumbuh kembali (regrowth) dengan baik.
Pola-pola penggembalaan seperti diatas, kecuali continuous grazing, hampir tidak dijumpai di Indonesia. Hal ini mungkin dikarenakan belum adanya industri produksi ternak ruminansia berbasis penggembalaan secara intensif. Walaupun demikian, penggembalaan dalam arti melepas ruminansia untuk mencari sendiri pakannya dipraktekkan juga oleh petani-ternak di berbagai kawasan Indonesia seperti misalnya di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pada kawasan-kawasan itu ruminansia dilepas pada padang rumput alam dan/atau kawasan hutan serta kawasan lahan pertanian yang bera. Adapun yang dimaksud dengan lahan pertanian bera adalah lahan pertanian tanaman pangan, terutama di kawasan pertanian lahan kering, yang setelah panen kemudian diistirahatkan sampai musim tanam yang akan datang. Selama periode istirahat itu maka lahan pertanian bera secara alamiah ditumbuhi beragam jenis rerumputan.
Pengamatan diberbagai wilayah menunjukkan adanya dua pola penggembalaan yang dilakukan petani-ternak yaitu melepas ternak tanpa pengawasan dan melepas ternak dibawah pengawasan satu atau beberapa orang penggembala. Apabila penggembalaan dilakukan dengan pengawasan maka hal itu dimaksudkan untuk menentukan lokasi padang rumput dimana kawanan ternak akan dibiarkan merumput serta menjaga agar tidak terjadi benturan antar kelompok ternak yang digembalakan. Harapannya agar ternak dapat memperoleh pakan hijauan dengan cukup pada lokasi penggembalaan yang dipilih.
Gambar 2. Penggembalaan terpancang pada lahan sempit |
Pada kawasan-kawasan lahan sempit di Jawa terdapat cara penggembalaan terpancang yang dilakukan oleh petani-ternak (lihat Gambar 2.). Pada berbagai lokasi di luar Jawa, dimana area penggembalaan terbatas maka pola semacam ini juga dapat dijumpai. Ternak ruminansia diikat dengan tali dilehernya atau keluh dan ujung tali yang lain diikatkan pada patok (pancang) yang ditancapkan pada area lahan marjinal relatif sempit yang ditumbuhi rumput. Penggembalaan terpancang memungkinkan ternak ruminansia merumput pada area berupa lingkaran dengan jari-jari sepanjang tali antara leher ternak dan pancangnya. Ternak digembalakan secara terpancang mulai pagi hingga siang atau sore hari dan setelah itu dikembalikan ke kandang. Selain penggembalaan terpancang, di Indonesia maupun di negara-negara lain di Asia sering dijumpai adanya ternak ruminansia yang digembalakan pada lahan pertanian setelah tanaman pertaniannya dipanen (stuble grazing) atau pada lahan pertanian yang bera. Pada pola stuble grazing, ruminansia mengkonsumsi sisa-sisa tanaman pertanian yang masih tertinggal pada lahan pertanian. Sedangkan pada lahan pertanian yang bera, setelah ditumbuhi beragam jenis rerumputan maka ruminansia dilepaskan untuk merumputnya.
Gambar 3. Race untuk sapi dan timbangan |
Pola penggembalaan di Australia, Eropa, Amerika dan juga di Indonesia umumnya dioperasikan dengan orientasi untuk menghasilkan keturunan. Sebagai misal pada peternakan sapi adalah untuk menghasilkan pedet (cow/calf operation) untuk kemudian dipanen pada saat tertentu. Pada pola ini ternak jantan dan betina dilepaskan di padang penggembalaan secara bersama-sama sehingga pada padang itu terjadilah proses perkawinan secara alamiah. Perkembangan jumlah ternak akibat perkawinan itu dimonitor dengan menghitung populasi ternak pada saat-saat tertentu. Pada saat itu, kawanan ternak dikumpulkan pada lokasi tertentu yang terbuka dan cukup ekstensif. Saat ternak dikumpulkan maka selain dihitung perkembangan populasinya juga dilakukan pemeriksaan kesehatan dan pemberian tanda pada ternak (branding) untuk menunjukkan pemilikan atas ternak. Pemelihara ternak ruminansia yang maju seperti pada pola komersial tempat pengumpulan ternak dilengkapi dengan race dan penjepit ternak untuk melakukan pemeriksaan ternak dan branding (lihat Gambar 3). Race adalah semacam lorong terbuat dari kayu atau pipa besi yang kuat. Lebar lorong itu cukup untuk satu ekor sapi. Ternak didalam lorong race dapat diamati dari luar lorong. Ternak dimasukkan kedalam lorong itu secara berjajar untuk diamati kondisi fisik dan kesehatannya serta diberi perlakuan pengobatan jika diperlukan. Sarana seperti itu juga dimiliki petani-ternak pelaku penggembalaan di Indonesia meskipun sarana itu dibuat dengan desain dan menggunakan bahan yang sederhana misalnya bambu.
Sumberdaya untuk penggembalaan
Sumberdaya yang digunakan untuk penggembalaan di negara-negara maju peternakannya meliputi padang rumput alam serta padang rumput buatan seperti pastura pada suatu ranch. Adapun di Indonesia, padang rumput alam yang telah diperbaiki pernah digunakan sebagai sumberdaya penggembalaan oleh perusahaan-perusahaan perbibitan sapi seperti misalnya PT Bina Mulya Ternak yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Walaupun demikian penggembalaan di Indonesia pada umumnya dapat dikatakan lebih bertumpu pada padang rumput alam, kawasan hutan serta lahan-lahan pertanian yang bera. Lahan-lahan pertanian bera itu ditumbuhi rerumputan yang dapat dirumput oleh ruminansia (lihat Gambar 4.).
Gambar 4. Sapi bali di Sulawesi Tenggara (1) dan domba Texel di Wonosobo Jawa Tengah (2) yang sedang merumput pada lahan pertanian yang bera.
Mutu dan kuantitas produksi hijauan padang penggembalaan di Indonesia termasuk dalam kategori rendah karena vegetasi yang ada terdiri atas jenis-jenis rerumputan atau tanaman herba yang secara genetis produksi dan mutunya memang rendah. Padang penggembalaan dimaksud umumnya didominasi oleh alang-alang (Imperata cylindrica) dan Themeda australis yang mutunya rendah dan/atau jenis-jenis rumput pendek seperti Axonopus compresus, Polytrias amaura, Cynodon dactylon, Euleusine indica, Cyperus sp. dengan kepadatan jarang. Pada stuble grazing di lahan persawahan maka jenis hijauan yang dikonsumsi ternak adalah sisa tanaman padi bagian bawah yang mutunya juga rendah.
1.2. Tebas-angkut
Diskripsi
Pemberian pakan ternak secara tebas-angkut (zero grazing atau cut and carry) dilakukan oleh petani-ternak pada kawasan yang tidak mempunyai area cukup luas untuk memelihara ruminansia dengan cara digembalakan. Lahan yang tersedia di kawasan ini telah digunakan secara intensif untuk budidaya tanaman pangan dan/atau tanaman perkebunan. Pada kawasan semacam ini, ternak ruminansia relatif terus-menerus ditempatkan dalam kandang disekitar rumah sedangkan hijauan pakannya dicarikan oleh pemeliharanya setiap hari. Cara pemberian pakan secara tebas-angkut seperti itu adalah ciri umum pola pemberian pakan ternak ruminansia di Asia. Khususnya di Indonesia, tebas-angkut itu dioperasikan oleh hampir semua petani-ternak di pulau Jawa, Madura dan Bali serta sebagian petani-ternak di pulau-pulau lainnya.
Sumberdaya untuk tebas-angkut
Gambar 5. Pinggir jalan di pedesaan yang ditumbuhi rumput |
Hijauan pakan ternak berupa rumput umumnya dicari oleh peternak dari lahan-lahan marjinal seperti pematang sawah, pematang tegalan (lihat boks 1) tepi sungai, tepi jalan atau tepi hutan. Contoh area pinggir jalan sebagai sumberdaya hijauan ternak disajikan pada Gambar 5. Lahan-lahan tersebut ditumbuhi berbagai jenis rumput alam seperti Cynodon dactylon, Eleusine indica, Eragrostis amabilis, Oplismenus burmanni, Axonopus compressus, Panicum repens, Imperata cylindrica, Eulalia amaura, Cyperus rotundus, Cyperus kyllingia, Themeda arguens, Echinocloa colonum dan Digitaria argyrotahya. Kecuali rumput, petani-peternak juga memanfaatkan daun-daunan sebagai pakan ternaknya. Daun tersebut dapat berasal dari tanaman pohon atau perdu yang tergolong leguminosa seperti Leucaena leucocephala, Gliricidia sepium, Calliandra sp. dan Albizia sp atau daun dari tanaman buah-buahan seperti alpukat (Persea sp), nangka (Artocarpus sp) dan pisang (Musa sp). Jenis-jenis pohon dan perdu itu adalah tanaman untuk pagar, tanaman yang dibudidayakan di pekarangan atau lahan-lahan milik negara. Selain jenis-jenis rumput dan daun-daunan tanaman seperti disebutkan diatas, petani-ternak juga memanfaatkan limbah pertanian yang banyak tersedia pada waktu musim panen. Adapun jenis limbah pertanian yang digunakan sebagai pakan hijauan tergantung pada jenis-jenis tanaman pangan yang dibudidayakan setempat. Adapun jenis-jenis tanaman pertanian di Indonesia yang limbahnya digunakan sebagai pakan ternak meliputi padi, jagung, kacang kedelai, kacang tanah, ketela pohon, ketela rambat, sorghum dan tebu.
Khususnya untuk tanaman jagung, ketela pohon dan tebu, seringkali dijumpai bahwa daunnya diambil untuk pakan ternak ruminansia sebelum hasil pokok tanamannya dipanen. Tanaman jagung misalnya, saat buah jagung mendekati waktu dipanen maka batang diatas bagian buah dipotong oleh petani-ternak. Bagian batang yang dipotong itu mempunyai daun yang telah tua berwarna kekuningan. Batang dan daun ini diberikan kepada ruminansia sebagai pakan. Demikian pula halnya dengan tanaman tebu. Sebelum tanaman tebu dipanen, petani membersihkan daun yang telah tua, berwarna kekuningan yang menggantung pada ujung tanaman. Hal itu sebenarnya bertujuan untuk membersihkan ruang antar baris tanaman sehingga memudahkan panen namun daun yang dihasilkan ada pula yang dikumpulkan untuk pakan ruminansia. Pada saat panen tebu juga diperoleh hijauan pakan yaitu daun pada ujung batang tebu yang masih berwarna hijau, disebut daun pucuk tebu. Pada kawasan dimana tanaman tebu dipelihara secara ratoon (lihat boks 2), petani berusaha mempertahankan anakan tanaman pada jumlah tertentu per rumpun. Petani di kawasan Malang Selatan umumnya memelihara tidak lebih dari sepuluh anakan per rumpun. Jika pada satu rumpun terdapat lebih dari sepuluh anakan maka dilakukan pengurangan jumlah anakan. Anakan yang dibuang itu terdiri atas batang serta daun muda dan digunakan sebagai pakan ternak.
Pada area-area tertentu, petani-ternak membudidayakan rumput unggul. Area dimaksud adalah area lahan marjinal seperti galengan sawah, galengan tegalan atau pada batas lahan sekitar rumah sebagai tanaman pagar. Penanaman pada galengan sawah, tegal atau sekitar rumah itu merupakan upaya petani-ternak memanfaatkan area atau lahan marjinal yang mereka miliki/kuasai. Hal itu dilakukan petani-ternak untuk meningkatkan kecukupan hijauan pakan ternak. Namun demikian, area-area yang ditanami rumput gajah tersebut relatif sempit sehingga hijauan yang dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan untuk ternak yang dipelihara sepanjang tahun. Oleh sebab itu mereka masih juga bergantung pada produksi hijauan di lahan-lahan marjinal yang ada disekitar tempat tinggal. Pada musim kemarau, produksi rumput yang ditanam juga menurun. Oleh karena itu, meskipun petani-ternak telah membudidayakan tanaman rumput tetapi mereka tetap masih bergantung pada sumber-sumber pakan hijauan yang lain. Adapun species tanaman rumput yang umumnya dibudidayakan secara monokultur adalah Pennisetum purpureum, Panicum Maximum, Digitaria decumbens, Euchlaena mexicana, Setaria anceps, Setaria splendida dan Cynodon plectostachyus. Diantara jenis-jenis hijauan ini, yang paling populer dibudidayakan di Indonesia adalah Pennisetum purpureum. Budidaya rumput seperti dimaksud diatas lebih dominan dilakukan oleh petani-peternak di kawasan produksi sapi perah dibandingkan di kawasan produksi sapi potong atau ruminansia lainnya.
2. Perubahan penggembalaan menjadi tebas-angkut
Masing-masing cara pemberian pakan seperti diatas, yaitu grazing dan tebas-angkut, merupakan bagian dari budaya pemeliharaan ruminansia yang berkembang akibat interaksi faktor-faktor sosial-ekonomi dan agroekologi setempat. Faktor demografi, misalnya, telah terekam sebagai penyebab berkembangnya pola pemberian pakan secara tebas angkut serta sistem pertanian lahan kering di dataran tinggi di pulau Jawa. Raffles (1817) dalam bukunya the History of Java menjelaskan bahwa daerah konsentrasi penduduk, perdagangan dan pertanian di Jawa pada awalnya berada di dataran rendah yang subur dan umumnya di daerah delta. Perkembangan aktivitas ekonomi yang terjadi di daerah konsentrasi penduduk itu mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk secara terus menerus. Sejalan dengan itu, terjadi pula peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan sarana infrastruktur pendukung lainnya sehingga menurunkan ketersediaan area lahan untuk aktivitas pertanian. Kemudian, Palte (1989) menjelaskan bahwa tekanan demografi yang berlanjut semakin tinggi membuat masyarakat petani di dataran rendah terpaksa harus bergerak ke dataran tinggi dan membuka area-area hutan di dataran tinggi untuk menyediakan lahan pertanian dan bertani. Aktivitas tersebut memicu berkembangnya pertanian lahan kering di dataran tinggi di pulau Jawa yang terus berlangsung hingga saat ini. Pada tahun 1883 tercatat bahwa kawasan pertanian lahan kering di dataran tinggi adalah 0,6 juta hektar yang berkembang terus hingga mencapai 6,1 juta hektar pada tahun 1989. Peningkatan area pertanian lahan kering ini jauh lebih tinggi dari perluasan kawasan persawahan untuk padi. Hal ini tergambarkan dari perubahan rasio luas area persawahan dan pertanian lahan kering di dataran tinggi dari sebesar 2,9 pada tahun 1883 menjadi 0,5 pada tahun 1989. (Palte, 1989; Manuwoto, 1991).
Pada awal perkembangan pertanian lahan kering di dataran tinggi di Jawa, aktivitas pertanian dilakukan secara berpindah-pindah (shifting cultivation). Cara bertani ekstensif ini dimungkinkan karena lahan masih tersedia luas. Masyarakat yang berpindah dari dataran rendah ke dataran tinggi untuk bertani juga membawa ternak ruminansia yang mereka miliki. Ternak tersebut dilepas merumput pada lahan-lahan pangonan yang tersedia luas. Namun dengan semakin banyak penduduk yang berpindah dari dataran rendah ke dataran tinggi untuk bertani maka tekanan demografi di dataran tinggi meningkat hingga mencapai taraf tidak dimungkinkannya lagi dilakukan pertanian secara berpindah-pindah. Sehingga secara gradual terjadilah perubahan cara bertani dari berpindah-pindah menjadi menetap pada suatu area tertentu. Pada pola pertanian menetap ini maka lahan tertentu digunakan secara terus menerus untuk bercocok tanam sehingga kesuburan lahannya menurun karena unsur hara tanah terus menerus dipanen. Untuk mencegah terjadinya penurunan kesuburan lahan secara berkelanjutan maka lahan harus dipupuk. Alternatif jenis pupuk yang tersedia adalah kotoran ternak. Cara paling mudah untuk mengumpulkan kotoran adalah dengan mengandangkan ruminansia. Kotoran ternak yang dikumpulkan dengan cara ini dikenal dengan sebutan pupuk kandang. Selain mudah untuk mendapatkan pupuk kandang, dengan mengandangkan ruminansia maka kemungkinan ternak lepas mengkonsumi tanaman yang ada di lahan pertanian dapat dicegah. Oleh sebab itu ruminansia yang semula bebas merumput kemudian dikandangkan. Ternak yang terus menerus berada di kandang diberi pakan hijauan yang dicarikan oleh petani pemeliharanya dari beragam sumber seperti pinggir jalan, pinggir hutan, pinggir sungai atau lahan-lahan marjinal lainnya. Terjadilah perubahan pola pemberian pakan dari penggembalaan pada ladang pangonan menjadi tebas angkut berbasis lahan lahan marjinal.
3. Karakteristik pola pemberian pakan
Pola pemberian pakan secara digembalakan atau tebas-angkut mempunyai beberapa karaketristik teknis yang kiranya perlu dipahami seperti diuraikan dibawah ini.
3.1. Penggembalaan
Beberapa karakteristik teknis penting dari pola pemberian pakan secara penggembalaan yang terkait dengan tatalaksana produksi ternak ruminansia adalah sebagai berikut:
- Karena digembalakan, ternak mempunyai kebebasan memilih (melakukan seleksi) terhadap jenis-jenis hijauan yang akan dikonsumsi sesuai kebutuhannya. Pengamatan pada domba yang digembalakan di padang rumput alam didapatkan bahwa ternak itu memilih hijauan atau bagian hijauan yang memiliki kandungan protein tinggi untuk dikonsumsi terlebih dahulu. Terdokumentasi pula bahwa jika kandungan protein hijauan di padang rumput berada dibawah tujuh persen maka konsumsi terhadap hijauan itu akan menurun secara nyata. Hal itu dikarenakan protein yang dikonsumsi ternak tidak optimal menyediakan nitrogen yang dibutuhkan mikroba dalam rumen (perut depan ternak ruminansia) untuk beraktifitas dan berkembangbiak. Akibatnya, karbohidrat struktural dari hijauan yang dikonsumsi oleh ternak kurang dapat dicerna sehingga menghambat pelepasan digesta (isi rumen) ke saluran pencernaan setelah rumen. Karena itu, kecepatan pengosongan rumen juga menurun sehingga ternak terangsang untuk menurunkan tingkat konsumsi pakannya.
- Disamping memilih jenis dan/atau bagian hijauan dengan kandungan protein tinggi, didapatkan bahwa domba serta sapi yang digembalakan memilih dan mengkonsumsi jenis atau bagian hijauan yang kandungan natrium serta phospornya tinggi. Memperhatikan hal tersebut maka konsentrasi protein, natrium dan phospor pada hijauan dapat digunakan sebagai kriteria memilih jenis hijauan yang akan dibudidayakan sebagai pakan ruminansia.
- Kebebasan yang diberikan kepada ternak untuk melakukan seleksi dan konsumsi terhadap hijauan seperti dimaksud diatas juga mempunyai sisi negatif. Salah satu diantaranya berangkat dari kenyataan bahwa berbagai jenis hijauan unggul, pada umur tertentu, mengandung substansi bersifat racun yang dapat mengganggu stabilitas fisiologi ternak yang mengkonsumsinya. Sebagai misal, seleksi dan konsumsi yang dilakukan ternak terhadap leguminosa berprotein tinggi seperti white clover atau Leucaena sp. dapat menimbulkan kembung (bloat) atau keracunan mimosin pada ternak. Demikian pula halnya dengan konsumsi rumput unggul Paspalum dilatatum yang berlebihan dilaporkan dapat menimbulkan paspalum staggers. Terkait dengan hal ini maka tatalaksana pemanfaatan pastura menuntut kecermatan pengelolanya dalam hal memilih jenis-jenis hijauan yang akan dibudidayakan serta umur dan komposisi botani pastura saat akan digunakan untuk menggembalakan ternak.
- Konsumsi pakan ternak yang digembalakan dapat beragam antar waktu sebagai akibat dari perubahan tingkat ketersediaan hijauan pada padang penggembalaan karena pengaruh musim misalnya tinggi pada musim hujan dan rendah pada musim kemarau. Konsentrasi zat makanan hijauan pada padang rumput, khususnya karbohidrat terlarut, dapat berubah-ubah akibat perubahan cuaca harian. Apabila kondisi gizi padang penggembalaan buruk maka kebebasan ternak melakukan seleksi dan konsumsi sesuai dengan kebutuhannya menjadi terbatas. Keragaman-keragaman ini membutuhkan perhatian dari pengelola padang rumput untuk dapat memperoleh produksi ternak yang optimal. Terdapat kemungkinan bahwa konsentrasi zat makanan dan energi yang dikonsumsi ternak adalah kurang sehingga harus dikoreksi dengan memberikan pakan suplemen atau konsentrat. Tindakan koreksi terhadap kekurangan nutrisi dan energi ini relatif lebih sulit dilakukan pada pola penggembalaan dibandingkan pada pola tebas-angkut dikarenakan ternak yang digembalakan mempunyai kebebasan bergerak (mobile). Konsentrat harus diletakkan pada tempat tertentu yang strategis, misalnya dekat lokasi air minum agar ternak dapat mengenalinya. Jika ternak telah mengenali lokasi itu maka mereka akan mendatangi tempat itu untuk minum dan juga mengkonsumsi konsentrat. Tetapi, ada persoalan lain yang dapat timbul yaitu persaingan antar ternak dalam hal mengkonsumsi konsentrat. Kemungkinan sebagian ternak mengkonsumsi konsentrat dalam jumlah berlebih dan sebagian lainnya hanya mengkonsumsi sedikit karena adanya persaingan antar individu ternak. Persaingan seperti itu akan semakin besar jika umur dan/atau berat badan ternak yang digembalakan beragam. Untuk mengatasi hal ini kiranya perlu disediakan beberapa tempat konsentrat agar persaingan antar ternak dapat dikurangi atau dihindari.
- Faktor lain yang mempengaruhi seleksi dan konsumsi ternak di padang penggembalaan adalah jumlah ternak per luas lahan yang secara teknis disebut tekanan penggembalaan (stocking rate). Semakin banyak ternak pada area penggembalaan maka kompetisi antar ternak untuk melakukan seleksi dan mengkonsumsi hijauan dari padang penggembalaan menjadi semakin besar. Keadaan itu, secara teknis disebut penggembalaan berlebihan (over-stocking) yang dapat berakibat pada menurunnya tingkat konsumsi hijauan dan produksi per individu ternak. Sebaliknya, dapat terjadi keadaan dimana jumlah ternak pada padang penggembalaan terlalu sedikit yang secara teknis disebut penggembalaan kurang (under-stocking). Pada situasi ini, pemanfaatan padang rumput menjadi tidak efisien walaupun produksi per individu ternak adalah tinggi karena masing-masing mempunyai kebebasan melakukan seleksi dan mengkonsumsi hijauan secara berlebihan. Kedua situasi itu, over-stocking dan under-stocking tidak dikehendaki karena mengakibatkan pemanfaatan pastura menjadi tidak efisien. Agar efisien, jumlah ternak yang dipelihara seharusnya seimbang dengan kemampuan padang rumput menyediakan hijauan pakan ternak. Untuk itu maka pengelola padang rumput dituntut mampu menentukan tekanan penggembalaan yang optimal untuk dioperasikannya. Namun perlu dicatat bahwa kebanyakan peternak ruminansia di Australia lebih memilih untuk beroperasi pada tingkat tekanan penggembalaan sub-optimal dengan tujuan mengurangi resiko akibat menurunnya produksi hijauan karena kekeringan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
- Terutama di kawasan tropika basah, kontrol terhadap endoparasit ataupun ektoparasit pada ternak yang digembalakan membutuhkan perhatian intensif. Larva endoparasit yang dikeluarkan bersama dengan feces, pada kondisi lembab, mendapatkan lingkungan yang ideal untuk berkembang dan menginfeksi ternak. Terkait hal ini maka dibutuhkan kontrol intensif terhadap infestasi endo- dan ekto-parasit pada pastura.
- Pemeliharaan ternak dengan penggembalaan tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak karena ternak dapat mencari sendiri pakan yang dibutuhkannya. Rendahnya kebutuhan tenaga kerja ini menjadikan sistem penggembalaan mempunyai nilai kompetitif yang tinggi.
3.2. Tebas-angkut
Beberapa karakteristik teknis penting dari pola pemberian pakan secara tebas-angkut yang terkait dengan tatalaksana produksi ternak ruminansia adalah sebagai berikut:
- Berbeda dari rekannya yang digembalakan maka ternak yang dipelihara dengan cara pemberian pakan tebas-angkut mempunyai keterbatasan untuk melakukan seleksi dan mengkonsumsi pakan hijauan. Keterbatasan itu ditentukan oleh jenis dan jumlah hijauan yang diberikan pemelihara kepadanya. Semakin banyak hijauan diberikan maka ternak mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan seleksi terhadap hijauan.Terkait dengan hal ini maka pemelihara dituntut untuk selalu dapat menyediakan pakan hijauan yang terdiri dari banyak komponen tanaman yang dapat dikonsumsi oleh ternak (edible), mempunyai palatabilitas (lihat boks 3) tinggi dan bermutu. Pengamatan pada ternak yang digembalakan menunjukkan bahwa daun merupakan komponen yang edible dan palatabilitasnya tinggi dibandingkan batang. Terkait dengan hal ini maka diharapkan petani-ternak dapat memberikan daun sebanyak mungkin daripada batang kepada ternak mereka. Memperhatikan tingkah laku ternak yang digembalakan, seperti telah disampaikan diatas, maka selain mampu menyediakan bagian hijauan yang edible secara cukup, maka petani-ternak juga dituntut menyediakan hijauan dengan kandungan protein, natrium dan phospor yang cukup.
- Kemungkinan terjadinya gangguan fisiologis pada ternak akibat mengkonsumsi hijauan yang mengandung racun lebih rendah daripada pada sistem penggembalaan. Hal ini dikarenakan bahwa dengan tebas-angkut maka pemelihara dapat mencarikan dan memberikan hijauan yang tidak toksik atau sifat toksik suatu jenis hijauan dapat dieliminasi terlebih dahulu oleh pemelihara. Petani-ternak umumnya mempunyai pengetahuan tentang jenis-jenis hijauan yang mengandung racun (bersifat toksik) dan yang baik untuk ternak ruminansia. Pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari cerita yang diberikan orang tua, saudara serta kerabat tentang kualitas bahan pakan yang diketahui melalui pengalaman mereka memelihara ruminasia. Berbekal pengetahuan lokal itu, petani-ternak umumnya mampu memilih jenis hijauan yang baik untuk diberikan kepada ternaknya. Sebagai misal, peternak-ternak tidak memberikan daun ketela pohon segar dalam jumlah banyak atau jika diberikan dalam jumlah banyak maka daun itu dilayukan terlebih dahulu. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan mencegah terjadinya keracunan pada ternak yang dipelihara. Ilmu pengetahuan dapat mengkonfirmasi hal itu melalui pengamatan laboratoris yang menunjukkan bahwa daun ketela pohon mengandung asam sianida (HCN) yang bersifat toksik jika dikonsumsi dalam jumlah besar dan sifat toksik asam itu akan hilang jika tanaman dilayukan.
- Jumlah pakan hijauan yang dikonsumsi oleh ternak, sebagai parameter penting produksi ternak, relatif mudah diukur karena pakan ditempatkan dalam palungan. Jumlah pakan yang diberikan maupun yang tersisa dapat ditimbang setiap saat diperlukan. Jika data jumlah hijauan yang diberikan dikurangi dengan yang tersisa maka diperoleh informasi tentang jumlah hijauan yang dikonsumsi oleh ternak. Konsumsi itu dapat diekspresikan sebagai konsumsi zat makanan ataupun energi. Melalui prosedur itu maka petani-ternak sebenarnya dapat mendeteksi kekurangan atau kelebihan konsumsi zat makanan atau enersi yang dilakukan oleh ternaknya. Seandainya terdapat kekurangan maka petani-ternak dapat melakukan tindakan koreksi dengan memberikan pakan tambahan. Pakan tambahan itu dapat diberikan pada ternak dengan relatif mudah yaitu menempatkannya pada tempat tertentu di palungan sehingga ternak mudah mengenalinya. Melalui cara ini maka tampilan ternak yang tidak sesuai harapan akibat kekurangan pakan, secara teoritis, relatif lebih mudah untuk dikoreksi dibandingkan jika ternak digembalakan. Karakteristik ini umumnya dimanfaatkan oleh sistem penggemukan ternak komersial di dalam maupun luar negeri. Peternak komersial di Amerika dan Indonesia yang menggemukan sapi selalu menggunakan cara pemberian pakan secara zero grazing. Sedangkan penggembalaan lebih umum dioperasikan oleh mereka yang memproduksi pedet atau sapi bakalan untuk dijual kepada mereka yang menggemukkan sapi.
- Keragaman jumlah konsumsi pakan hijauan antar hari relatif lebih kecil dibandingkan dengan ternak yang digembalakan. Meskipun produksi pakan hijauan di lapangan berfluktuasi akibat musim namun dengan tebas-angkut maka petani-ternak dapat berusaha memberi hijauan kepada ternak dengan jumlah yang relatif konstan. Pada musim kemarau dimana produksi hijauan menurun drastis, petani-ternak di Jawa dapat memberi pakan ruminansia yang dipeliharanya dalam jumlah yang relatif sama dengan jumlah yang diberikan pada musim hujan. Namun pada musim kemarau petani-ternak akan menghabiskan waktu lebih lama untuk mencari hijauan pada area yang lebih luas dibandingkan pada musim hujan. Bahkan, pada musim kemarau petani-ternak seringkali terpaksa membeli hijauan dari kawasan lain dimana banyak tersedia bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan pakan ruminansia yang dipeliharanya.
- Kontrol terhadap endoparasit atau ektoparasit relatif lebih mudah dilakukan daripada pada sistem penggembalaan. Pemberian antihelmetik relatif lebih mudah dilakukan karena ternak stasioner di kandang.
- Sistem tebas angkut membutuhkan tenaga kerja lebih besar daripada sistem penggembalaan, khususnya untuk mencari pakan hijauan. Tenaga kerja tersebut, kecuali dituntut mempunyai kondisi fisik prima untuk mampu mencari dan mengangkut hijauan juga diharapkan mempunyai cukup pengetahuan tentang jenis-jenis dan kualitas hijauan. Mereka juga dituntut untuk mengetahui jumlah pakan hijauan yang dibutuhkan oleh ternak yang dipeliharanya. Pengetahuan itu diperlukan sebagai bekal tenaga kerja untuk dapat mencari pakan hijauan dalam jumlah cukup sesuai kebutuhan ternak yang dipeliharanya. Pada umumnya pengetahuan itu telah dimiliki petani-ternak dari informasi yang diberikan oleh orangtua, teman atau petani ternak lain dalam komunitasnya.
4. Akses pada sumberdaya pakan hijauan
Pola pengadaan pakan hijuan tebas-angkut pada sistem peternakan rakyat adalah unik. Petani-ternak yang jumlahnya ratusan ribu atau mungkin jutaan, setiap hari, meninggalkan rumah untuk mengumpulkan hijauan dari beragam sumberdaya hijauan yang ada disekitar tempat tinggal mereka. Terdapat suatu elemen penting yang memungkinkan berlangsungnya penggunaan beragam sumberdaya hijauan pakan oleh petani-ternak yaitu kebebasan aksesnya pada sumberdaya itu.
Kata akses berasal dari bahasa Inggris access yang artinya adalah hak untuk menggunakan (right to use) atau hak untuk masuk (right of entry) dalam rangka memanfaatkan suatu sarana atau fasilitas. Mengacu pada definisi itu maka akses pada sumberdaya pakan hijauan dapat diartikan sebagai hak untuk menggunakan sumberdaya itu. Pada cara pemberian pakan secara penggembalaan maupun tebas-angkut, pemelihara ruminansia harus mempunyai hak yang terjamin untuk menggunakan sumberdaya hijauan. Tanpa hak itu maka pengadaan hijauan untuk menunjang sistem produksi ruminansia menjadi tidak terjamin. Penggembalaan di Eropa, Amerika dan Australia, misalnya, yang dilakukan pada ranch sebagai usahatani padang rumput maka pastura dikelola dengan batas-batas penguasaan yang jelas. Pemilikan pastura per unit ranch bersifat individual dan statusnya dijamin secara hukum sebagai hak milik atau sewa. Luas area pastura per unit ranch adalah tertentu sesuai dengan kemampuan kapital pengelola untuk membeli dan/atau menyewa pastura itu. Melalui kepemilikan yang jelas itu maka peternak pengelola pastura dapat berupaya maksimal untuk mengadakan hijauan pakan sesuai kebutuhan ternak yang dipeliharanya.
Berbeda dengan pola ranch, penggembalaan ternak di Indonesia umumnya dilakukan pada beragam jenis lahan-lahan marjinal yang ditumbuhi rumput seperti misalnya padang rumput alam, tepi sungai atau kawasan hutan negara. Akses pemelihara ternak ruminansia terhadap sumberdaya pakan hijauan itu tidak didasarkan pada pemilikan yang berkekuatan hukum formal seperti para pengelola ranch. Pada komunitas peternakan rakyat di Indonesia terdapat semacam konsensus sosial tidak tertulis, mungkin dapat disebut sebagai konvensi, bahwa lahan-lahan marjinal boleh digunakan untuk menggembalakan ternak ruminansia. Dengan kata lain, lahan-lahan marjinal yang ditumbuhi rumput diakui, atau dianggap oleh komunitas peternakan rakyat sebagai milik umum (common property) yang boleh digunakan oleh siapapun untuk menggembalakan ternak ruminansianya. Suatu konsensus sosial yang unik dijumpai di Nusa Tenggara Barat dimana area yang dibudidayakan untuk produksi tanaman pangan justru harus dipagar supaya tidak diganggu oleh sapi yang dilepas bebas untuk merumput pada area-area marjinal. Jika lahan pertanian tidak dipagar kemudian ruminansia memasuki lahan itu dan mengkonsumsi tanaman pertanian yang dibudidayakan maka pemilik ruminansia tidak dapat disalahkan.
Seperti para pemelihara ruminansia yang melakukan penggembalaan maka petani-ternak yang mengoperasikan pola pemberian pakan tebas-angkut di Jawa, Bali, Madura dan pulau-pulau lain di Indonesia mempunyai akses pada berbagai jenis lahan marjinal seperti pematang sawah, tegalan, pinggir sungai, pinggir jalan, pinggir hutan untuk mendapatkan pakan hijauan. Lahan-lahan itu menghasilkan rumput dan daun-daunan yang dapat dikumpulkan untuk dibawa ke kandang dan diberikan kepada ternak ruminansia. Akses petani-ternak pada jenis-jenis lahan marjinal itu juga didukung oleh kesepakatan tidak tertulis yang menjamin mereka untuk mengumpulkan pakan hijauan dari lahan marjinal yang ada disekitar tempat tinggal. Adanya kesepakatan sosial itu memberikan kesempatan pada mereka yang tidak mempunyai lahan untuk dapat memelihara ruminansia. Oleh karena itu tidak dijumpai adanya hubungan yang nyata antara jumlah sapi yang dipelihara petani-ternak dengan luas lahan yang mereka miliki seperti diamati oleh Ifar, Wibowo dan Wardoyo (1984) didaerah peternakan rakyat sapi perah di Nongkojajar Kabupaten Pasuruan dan daerah peternakan rakyat sapi non-perah di desa Putukrejo dan Kedungsalam Kabupaten Malang. Mengacu pada realita itu seorang guru besar dari Universitas Padjadjaran yaitu Prof. Didi Atmadilaga menyebut sistem peternakan ruminansia di Jawa sebagai peternakan diawang-awang (flying herd systems) Sebutan itu dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa sistem peternakan ruminansia di Jawa tidak bertumpu pada lahan yang dimiliki pemeliharanya secara pasti sehingga harus bergantung pada produktivitas hijuan yang tumbuh alamiah pada lahan-lahan majinal. Pola itu telah berlangsung dari generasi ke generasi yang memungkinkan para petani berlahan sempit memelihara ternak ruminansia dalam bentuk sistem peternakan rakyat.
Terdapat perbedaan pola akses petani-ternak pada limbah pertanian dibandingkan akses mereka pada rumput dan daun-daunan yang tumbuh pada lahan-lahan marjinal. Pengamatan di wilayah Malang Selatan dan Trenggalek di Jawa Timur (Ifar, 2006) serta di Lombok Timur dan di daerah-daerah lain di Jawa yang menunjukkan bahwa limbah pertanian adalah hak dari operator (lihat boks 4) lahan pertanian. Namun para operator umumnya memberikan prioritas kepada pihak lain untuk mendapatkan akses secara bebas terhadap limbah pertanian seperti jerami padi, jagung atau pucuk tebu yang dihasilkan pada lahan yang dioperasikannya. Pihak lain itu adalah para pekerja tetap yang bekerja pada operator lahan untuk melaksanakan kegiatan panen. Pemberian prioritas kepada para pekerja tetap untuk memanfaatkan limbah pertanian itu kiranya dapat diartikan sebagai insentip in-natura atas jerih payah para pekerja melakukan panen. Para pekerja tetap untuk panen itu umumnya adalah juga petani-ternak yang memelihara ruminansia milik operator lahan dengan pola gaduhan (lihat boks 5). Ditinjau dari sisi ini maka pemberian prioritas kepada pekerja tetap untuk mendapatkan limbah pertanian merupakan tindakan logis para operator lahan untuk mengamankan pasokan pakan ternak yang mereka gaduhkan. Apabila jumlah limbah yang dihasilkan berlimpah, melebihi jumlah yang dapat dikumpulkan dan dibawa pulang masing-masing pekerja tetap maka petani-ternak lain juga boleh mengumpulkannya. Petani-ternak lain itu dapat mengumpulkan limbah pertanian dengan ijin dari para pekerja tetap dan umumnya mereka juga harus membantu para pekerja tetap melakukan kegiatan panen. Pola tersebut menunjukkan bahwa akses pada limbah pertanian mempunyai tatanan tersendiri yang secara hirarkis melibatkan operator lahan dan tenaga kerja panen. Adapun jumlah limbah yang dapat dibawa pulang oleh tiap pencari hijauan adalah tergantung dari kemampuan tiap individu membawanya, jumlah pekerja tetap, jumlah pekerja yang membantu pekerja tetap, luas area panen dan jumlah ternak yang dipelihara masing-masing pekerja. Interaksi berbagai faktor itu membuat limbah pertanian dari satu unit lahan pertanian terdistribusi pada komunitas peternakan rakyat.
Kebebasan akses pada sumberdaya hijauan di kawasan-kawasan padat ternak tidak selalu dapat menjamin kontinyuitas pengadaan pakan hijauan secara berkesinambungan. Keadaan seperti itu umumnya dijumpai pada kawasan-kawasan peternakan rakyat sapi perah. Khususnya pada musim kemarau dimana produksi hijauan pada lahan marjinal sangat menurun maka petani-ternak harus membeli hijauan untuk mencukupi kebutuhan pakan untuk ternak yang dipeliharanya. Pada kawasan dimaksud, petani-ternak pemelihara sapi perah umumnya juga menanam hijauan pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum) pada lahan-lahan yang dikuasainya. Tetapi, area produksi rumput gajah per unit usahatani relatif sempit dan pada musim kemarau produksinya menurun cukup drastis sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hijauan sepanjang tahun. Oleh sebab itu petani-ternak sapi perah masih harus membeli pakan hijauan untuk mencukupi kekurangan pasokan hijauan dari lahan sendiri. Jenis hijauan yang dibeli pada umumnya adalah rumput gajah dan tebon jagung. Kemampuan petani-ternak sapi perah membeli pakan hijauan itu didukung oleh adanya pendapatan rutin dari usaha memelihara sapi perah yang laktasi (diperah air susunya). Pendapatan itu sebagian dapat digunakan untuk membeli hijauan serta pakan konsentrat.
Pengadaan pakan hijauan melalui pembelian juga dijumpai pada sistem peternakan rakyat non-sapi-perah di kawasan pertanian lahan kering. Pembelian hijauan itu dilakukan terutama pada periode mendekati akhir musim kemarau saat produktivitas hijauan pada lahan-lahan marjinal sangat menurun. Jenis hijauan yang dibeli umumnya adalah jerami padi . Survei pada musim kemarau di kawasan pertanian lahan kering di dataran tinggi Malang Selatan di Kabupaten Malang mendapatkan bahwa kelompok-kelompok petani-ternak pemelihara sapi menyewa truk untuk membeli jerami padi dari kawasan pertanian lahan basah di dataran rendah (Ifar, 1996). Keseluruhan biaya ditanggung oleh setiap anggota kelompok. Cukup menarik diperhatikan bahwa petani-ternak yang dapat dikategorikan sebagai kelompok marjinal itu bersedia dan dapat mengalokasikan dana untuk membeli jerami padi sebagai pakan ternak. Pengamatan lebih lanjut menunjukkan bahwa para petani-ternak dimaksud memperoleh dana melalui penjualan sapi yang mereka pelihara kepada kelompok elit yang ada di desa. Dana yang diperoleh sebagian digunakan untuk membeli pakan berupa jerami padi dan sebagian digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan . Sapi yang dijual tidak keluar dari unit usahatani petani-ternak penjual tetapi statusnya berubah dari yang semula adalah hak milik menjadi gaduhan. Melalui mekanisme itu maka keluarga petani-ternak marjinal dapat mengamankan kebutuhan pangan, menyediakan pakan ternak dan mengamankan aset berupa sapi secara simultan. Mekanisme tersebut juga berperan menstabilkan populasi sapi pada tingkat desa karena penjualan sapi tidak diikuti dengan keluarnya sapi dari desa (Ifar, Solichin, Udo dan Zemmelink; 1996).
Uraian diatas menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara lahan basah yang berada di dataran rendah (lowland) untuk mendukung kebutuhan pakan hijauan yang dibutuhkan oleh peternakan rakyat yang berada pada daerah pertanian lahan kering (upland). Dengan demikian terdapat pertukaran (trade-off) sumberdaya pakan hijauan antar wilayah. Keadaan itu menunjukkan bahwa sistem pengadaaan pakan hijauan bersifat terbuka dan akses petani-ternak tidak terikat oleh suatu batas administrasif atau agroekologi tertentu. Hal itu tentunya difasilitasi oleh mekanisme pasar dan pemasaran yang berkembang setempat. Sebagai misal, kawasan peternakan rakyat sapi perah di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang di Jawa Timur secara rutin bergantung pada pasokan hijauan dari berbagai kecamatan di Kabupaten Kediri bahkan Pasuruan. Keadaan itu memberikan indikasi bahwa daya dukung kawasan peternakan sapi perah untuk memasok pakan hijauan adalah rendah atau sudah tepakai secara berlebihan. Namun terdapat sisi positif yang perlu dicatat bahwa berkembangnya peternakan sapi perah pada suatu kawasan dapat medorong berkembangnya usahatani hijauan pakan ternak pada kawasan lain. Hal ini menunjukkan adanya efek-efek ganda (multiplier effects) yang diperoleh dari upaya pengembangan suatu kawasan untuk usaha peternakan sapi perah. Meskipun kawasan ini tidak mempunyai daya dukung yang memadai namun kawasan lain dapat mendukungnya dengan mengembangkan kegiatan ekonomi yang relevan seperti memproduksi hijauan.
Pada berbagai kawasan, terutama kawasan peternakan rakyat sapi perah, perhutani mengalokasikan lahan hutan yang baru dibuka untuk ditanami rumput gajah oleh petani-ternak setempat. Area ini disebut dengan area tumpangsari. Petani-ternak anggota program tumpangsari diperbolehkan membudidayakan rumput namun juga diberi kewajiban memelihara tanaman pohon yang ditanam oleh pihak perhutani. Adanya area tumpangsari ini sangat membantu meningkatkan akses petani-ternak anggota tumpangsari pada hijauan pakan ternak. Rumput yang dibudidayakan itu menjadi hak milik penanam yaitu petani-ternak anggota program tumpangsari. Adapun konsekuensi dari program tumpangsari diatas adalah bahwa akses petani-ternak yang bukan anggota program tumpangsari terhadap hijauan pakan ternak dikawasan hutan menjadi terbatas.
5. Perbaikan sumberdaya pakan hijauan
Produksi yang tinggi dari sumberdaya pakan hijauan secara kontinyu sepanjang tahun selalu menjadi harapan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemeliharaan dan peningkatan produksi ternak ruminansia. Mereka meliputi peternak, petani-ternak, penentu kebijakan maupun kosumen produk-produk ruminansia. Pada kenyataannya, cukup banyak faktor saling terkait yang perlu diperhatikan untuk memperbaiki sumberdaya pakan hijauan. Faktor-faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor-faktor teknis dan non-teknis.
- Faktor teknis
Perbaikan sumberdaya pakan hijauan dapat dilakukan melalui beragam cara seperti mengganti jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada padang rumput alam dengan jenis-jenis tanaman hijauan pakan hasil seleksi yang bermutu tinggi, menyediakan sarana irigasi agar pada musim kemarau hijauan dapat memperoleh cukup air sehingga dapat tetap berproduksi dengan baik, melakukan pemupukan untuk menjaga stabilitas kesuburan lahan sehingga pasokan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk berproduksi dapat terjamin secara berkelanjutan, mengintroduksikan leguminosa pada area pastura yang sudah ada serta menentukan jumlah ternak yang sesuai dengan kemampuan sumberdaya hijauan menyediakan hijauan pakan. Masing-masing upaya perbaikan sumberdaya pakan hijauan itu dapat dipilih dengan memperhatikan kondisi sumberdaya yang ada (existing condition), tujuan perbaikannya, biaya yang tersedia, kemampuan tenaga pelaksananya serta ketersediaan sarana penunjang. Ladang penggembalaan yang masih bersifat alamiah dapat diperbaiki melalui beragam program seperti pengurangan dan kontrol tanaman semak, memilih dan menerapkan pola penggembalaan yang paling sesuai dengan tujuan dan sarana tersedia atau melakukan penanaman jenis-jenis hijauan pakan yang diingini dengan penebaran benih atau biji (oversowing).
Untuk melakukan oversowing maka biji yang akan disebar harus dipersiapkan terlebih dahulu melalui pembelian atau produksi sendiri. Diharapkan benih atau biji tanaman tersebut mempunyai kualitas baik dengan tingkat perkecambahan yang tinggi. Pada negara-negara dimana budidaya padang rumput merupakan hal yang dipentingkan untuk menunjang sistem produksi peternakan ruminansia maka pemerintah, dibawah departemen atau kementerian pertaniannya, mempunyai sistem produksi biji tanaman hijauan pakan untuk didistribusikan kepada peternak atau para ranchers yang membutuhkan. Melalui pola ini, peternak mengetahui dengan pasti kemana harus mencari benih yang terjamin mutunya serta dapat berkonsultasi tentang jenis tanaman yang sebaiknya digunakan untuk memperbaiki tampilan pastura mereka.
Untuk memperbaiki pastura maka species atau kultivar tanaman pakan ternak yang akan digunakan harus ditentukan dulu sebelum membeli atau mengadakan benih atau bijinya. Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk memilih jenis rumput atau leguminosa baru yang akan digunakan untuk mengganti jenis yang sudah yaitu [1] kemungkinan adaptasinya pada lingkungan setempat [2] tujuan penggunaannya seperti apakah akan digunakan untuk penggembalaan secara continuous atau rotation, untuk tebas-angkut, dibuat hay atau silase [3] karakterstik species tanaman yang meliputi kemudahan penanamannya, palatabilitas, periode vegetatifnya, responnya terhadap pemupukan, persistensi, ketahanan terhadap tekanan penggembalaan dan/atau pemotongan serta potensi produksi biji atau bibitnya [4] ketersediaan biji atau material untuk ditanam [5] nilai dari lahan yang mungkin meningkat melalui perbaikan vegetasi penutup lahan [6] jenis dan kualitas ternak yang akan digembalakan atau diberi pakan serta [7] kemampuan menejerial pengelola padang rumput untuk melakukan perbaikan dan menjaga stabilitas produksi selanjutnya.
Cukup banyak kiranya hal teknis yang harus dipertimbangkan untuk memperbaiki padang rumput. Pada akhirnya semua berpulang pada ketersediaan modal serta kemampuan pengelola dalam hal manajemen pengelolaan sumberdaya hijauan pakan ternak. Kemampuan pengelola itu kiranya membutuhkan penguasaan teori maupun praktek tentang prinsip-prinsip produksi hijauan pakan ternak yang dapat diperoleh melalui pengalaman, informasi di pustaka atau melalui pelatihan serta pendidikan formal.
- Faktor non-teknis
Terdapat satu faktor penting bersifat non-teknis yang menentukan keberhasilan upaya perbaikan sumberdaya hijauan pakan ternak. Faktor itu ialah penguasaan atas lahan sumberdaya hijauan yang menjadi target perbaikan. Telah disampaikan pada uraian-uraian terdahulu bahwa di berbagai belahan dunia terdapat pola usahatani padang rumput disebut ranch yang mengelola pastura dengan batas-batas penguasaan yang jelas. Pemilikan pastura per unit ranch bersifat individual dan statusnya dijamin secara hukum sebagai hak milik atau sewa. Aksesibilitas yang pasti seperti itu memungkinkan para pengelola ranch untuk sepenuhnya melakukan kontrol terhadap jenis dan mutu hijauan yang akan dibudidayakan serta produktivitas pastura yang dikelolanya. Apabila pengelola ranch ingin mengganti rumput alam pada pastura yang dimilikinya dengan rumput dan/atau leguminosa hasil seleksi maka keputusan untuk melakukan hal itu dapat dibuat dengan relatif mudah. Operasionalisasi keputusan itu hanya dibatasi oleh faktor modal yang dimilikinya, ketersediaan bibit dan ketersediaan sarana pengolahan lahan dan semua faktor itu sepenuhnya berada dibawah kontrol pengelola ranch. Penerapan tatalaksana pengelolaan pastura seperti pemupukan, pengairan dan pemotongan juga dapat ditentukan oleh pengelola dengan bebas. Produktivitas hijauan pastura yang dikelola dapat dimonitor dan diperkirakan dengan baik. Pengetahuan ini digabungkan dengan penerapan tatalakasana yang baik memungkinkan pengelola untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara dan target produksi ternak yang ingin dicapainya.
Berbeda dengan rekannya yang mengelola ranch, petani-ternak dalam sistem peternakan rakyat di Indonesia umumnya tidak mempunyai sumberdaya hijauan yang dikuasai pribadi secara formal. Petani-ternak hanya mendapat dukungan sosial untuk menggunakan lahan marjinal yang ada disekitar sebagai area penggembalaan atau mencari rumput untuk ternak ruminansia yang mereka pelihara. Sumberdaya pakan hijauan itu dapat dikatakan sebagai milik umum atau common property. Memperhatikan status sumberdaya hijauan pakan ini, yaitu milik umum, maka terdapat kendala terhadap upaya perbaikan mutu sumberdaya itu. Kendala ini menyangkut persoalan siapa yang akan melakukan perbaikan sumberdaya hijauan itu dan siapa yang akan memanfaatkannya. Kedua pertanyaan itu mungkin dapat diselesaikan melalui musyawarah yang melibatkan banyak pihak seperti para petani-ternak, pengelola lahan marjinal, tokoh masyarakat dan juga para pemangku kebijakan. Musyawarah dimaksud tentunya membahas beragam isu seperti jenis hijauan apa yang akan diintroduksi, bagaimana mengadakan bibit atau benih, mekanisme introduksi dan pengolahan lahan yang diperlukan, siapa yang mengerjakan, siapa yang membiayai serta bagaimana mekanisme pemanfaatannya. Menghasilkan kesepakatan atas beragam agenda musyawarah seperti ini kiranya tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat atau hanya melalui satu kali pertemuan. Oleh sebab itu, waktu dan biaya yang cukup besar kiranya akan dibutuhkan sekedar hanya untuk menyepakati perlu tidaknya dilakukan perbaikan sumberdaya hijauan milik umum. Seandainya kemudian dapat terjadi kesepakatan atas agenda-agenda tersebut maka implementasinya harus dilakukan secara ketat agar semua keputusan dapat dioperasikan seperti seharusnya. Untuk itu kiranya juga diperlukan keputusan bersama tentang siapa yang melakukan kontrol terhadap keseluruhan proses. Problematik diatas kiranya dapat menjadi semakin kompleks jika menyangkut proses perbaikan mutu padang rumput alam. Suatu area padang rumput alam yang telah diperbaiki kemungkinan dapat diklaim oleh pihak-pihak tertentu yang menyatakan bahwa area tersebut dibuka oleh sesepuh keluarga mereka sehingga berdasarkan adat mereka mempunyai hak atas lahan itu. Penyelesaian atas persoalan ini akan menuntut proses hukum yang membutuhkan waktu dan biaya. Timbul isu baru yang klasik yaitu siapa yang harus membiayainya.
Tidak adanya pemilikan individual yang jelas terhadap padang penggembalaan di Indonesia dapat menjadi kendala untuk menentukan jumlah ternak yang dapat dipelihara. Walaupun jumlah ternak yang dapat didukung oleh suatu padang rumput alam atau lahan marjinal dapat dihitung tetapi hasilnya mungkin tidak operasional. Misalnya, terdapat suatu kawasan padang penggembalaan alam yang secara tradisi telah digunakan oleh sebanyak K petani-ternak untuk menggembalakan ternaknya. Kawasan padang penggembalaan itu dapat diestimasi kemampuannya menyediakan pakan hijauan sepanjang tahun sehingga jumlah ternak optimum yang dapat didukungnya dapat dihitung, misalnya sejumlah X ekor sapi. Selanjutnya jika mengacu pada prinsip pemerataan maka setiap pemelihara sapi boleh memelihara maksimal X/K ekor sapi. Artinya bahwa setiap pemelihara ruminansia mendapatkan kuota jumlah ternak ruminansia yang boleh dipeliharanya. Apakah kuota itu dapat diterima dan dioperasionalkan oleh masing-masing pengelola ternak kiranya dapat dipertanyakan. Hal ini dikarenakan bahwa secara mendasar tiap individu petani-ternak mempunyai hak memutuskan jumlah ternak yang ingin dipeliharanya. Selain itu, kuota tersebut dapat menjadi penghambat untuk hadirnya peternak baru yang akan ikut menggembalakan sapi pada kawasan dimaksud.
Pada kawasan peternakan rakyat yang mengoperasikan cara pemberian pakan tebas-angkut maka petani-ternak menggunakan lahan-lahan marjinal milik umum untuk mendapatkan hijauan. Memperhatikan kondisi ini maka problematik non-teknis untuk perbaikan sumberdaya hijauan pada kawasan tebas-angkut adalah relatif sama dengan di kawasan penggembalaan seperti telah dibicarakan diatas. Isu standar penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu untuk memperbaiki sumberdaya hijauan dimaksud adalah siapa yang akan melakukan perbaikan sumberdaya alam pakan hijauan yang tersedia dan siapa yang akan memanfaatkannya serta bagaimana pengelolaannya.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa area rumput-rumputan introduksi cukup banyak tersebar di kawasan peternakan rakyat ruminansia di pedesaan-pedesaan Jawa. Hal itu memberikan kesan bahwa banyak petani-ternak yang berminat membudidayakan hijauan pakan ternak. Petani-ternak dimaksud menanam rumput tentunya pada lahan yang mereka miliki atau sewa. Namun area budidaya rumput itu relatif sempit sehingga belum dapat mencukupi kebutuhan pakan hijauan sepanjang tahun. Oleh sebab itu petani-ternak masih harus mencari hijauan pada lahan-lahan marjinal milik umum atau membeli. Situasi itu adalah akibat dari praktek petani-ternak memprioritaskan penggunaan lahan yang dioperasikannya untuk budidaya tanaman pangan yang hasilnya dapat menjamin konsumsi pangan rumahtangga. Budidaya rumput masih bukan merupakan prioritas sepanjang akses petani-ternak terhadap sumberdaya hijauan milik umum masih terjamin. Belum diprioritaskannya penanaman rumput itu kiranya juga terkait dengan orientasi pemeliharaan ruminansia yang bukan sebagai sumber pendapatan utama atau untuk mendapatkan keuntungan finansial seperti layaknya usaha peternakan komersial. Petani-ternak dalam peternakan rakyat umumnya memelihara ruminansia dengan orientasi menghasilkan pupuk kandang, menyediakan tenaga kerja untuk mengolah lahan dan sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk memperoleh dana guna menjamin kesejahteraan rumahtangga. Orientasi pemeliharaan semacam ini tidak terlalu menuntut adanya pasokan pakan hijauan bermutu secara kontinyu sepanjang tahun. Petani-ternak dengan orientasi seperti itu menerima dengan baik situasi adanya waktu-waktu dimana pasokan pakan hijauan berkurang yang dimanifestasikan dengan menurunnya tampilan produksi ternak mereka. Mungkin, sepanjang ternak mereka dapat diberi pakan dan hidup maka hal itu sudah dapat memenuhi tujuan pemeliharaan yang ada. Hal ini merupakan problematik budaya atau tradisi yang tidak sejalan dengan konsep produksi ternak ruminansia untuk menghasilkan susu dan atau daging secara maksimal untuk mencukupi permintaan pasar.
Telah disampaikan diatas bahwa pekerja tetap untuk panen mempunyai prioritas akses pada limbah pertanian. Mereka umumnya adalah petani-ternak yang memelihara ternak milik operator lahan pertanian secara gaduhan. Adanya status ternak yang dipelihara sebagai gaduhan ini kiranya juga dapat menjadi salah satu kendala untuk perbaikan sumberdaya hijauan maupun introduksi teknologi bidang pakan ternak lainnya seperti amoniasi jerami padi atau penggunaan konsentrat. Problematiknya juga cukup klasik yaitu siapa yang akan membiayai aplikasi teknologi ; apakah penggaduh dan pemilik. Penggaduh yang status ekonominya relatif rendah enggan melakukan investasi untuk teknologi atau perbaikan sumberdaya hijauan pakan karena mereka harus mencurahkan waktu, bahkan mungkin dana, untuk mengoperasikan teknologi namun sebagian hasilnya akan dinikmati oleh pemilik ternak. Sebaliknya, pemilik ternak juga dapat enggan melakukan investasi untuk teknologi dengan pemikiran bahwa sebagian hasilnya akan dinikmati oleh pengaduh. Seandainya jalan keluarnya adalah bahwa pemilik dan penggaduh harus berbagi membiayai teknologi maka berapa proporsi biaya yang harus ditanggung masing-masing menjadi isu lain yang membutuhkan penyelesaian. Opsi ini kiranya dapat menjadi tidak operasional jika penggaduh yang status ekonominya relatif rendah harus menanggung beban yang sama dengan beban yang ditanggung pemilik ternak.
6. Mempertahankan keberadaan sumberdaya hijauan
Peternakan ruminansia adalah kegiatan berbasis lahan. Kontinyuitas pasokan pakan pokok ruminansia berupa hijauan dapat dijamin hanya jika lahan sumberdaya hijauan tersedia dengan pasti. Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa ketersediaan lahan untuk produksi ruminansia dan juga pakan hijauan harus bersaing dengan penggunaan lahan untuk pembangunan industri-industri berbasis pertanian maupun non-pertanian yang semakin meningkat dan terus berlangsung secara paralel dengan pertambahan jumlah penduduk. Pada daerah perkotaan, pemekaran daerah pemukiman secara nyata berlangsung dengan mengorbankan area-area pertanian produktif seperti sawah dan tegalan. Apabila area produktif untuk tanaman pertanian sumber bahan pangan pokok dapat dikorbankan untuk pembangunan infrastruktur dan perumahan maka mengorbankan area marjinal yang hanya ditumbuhi rumput kiranya tidak mustahil dilakukan. Konversi lahan pertanian produktif maupun lahan marjinal untuk aktivitas non-pertanian secara otomatis akan berdampak pada berkurangnya ketersediaan lahan basis pakan untuk produksi ternak ruminansia. Apabila kondisi itu berlangsung terus hingga tidak ada lagi area yang tersisa untuk ditumbuhi hijauan pakan ternak maka produktivitas aset nasional berupa ternak ruminansia otomatis juga akan sangat menurun. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut maka pemeliharaan sumberdaya hijauan pakan ternak yang ada saat ini tentunya harus menjadi prioritas agar kebutuhan pakan untuk industri ruminansia dimasa mendatang dapat diyakini tercukupi secara bekelanjutan. Industri dimaksud kiranya akan tetap dibutuhkan oleh generasi-generasi baru bangsa Indonesia mendatang.
Mempertahankan dan membangun sumberdaya hijauan pakan ternak juga membutuhkan ketentuan hukum yang dapat melindunginya. Terkait hal ini terdapat suatu Undang Undang yang menjadi payung hukum sumberdaya hijauan pakan ternak yaitu Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang-undang itu secara eksplisit menyatakan perlunya lahan untuk peternakan. Hal tersebut dapat diikuti dari Bab III tentang Sumberdaya, di Bagian satu tentang lahan, pasal empat yang menyatakan ”Untuk menjamin kepastian terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan ketersediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis peternakan dan kesehatan hewan”. Selanjutnya pada pasal lima, ayat satu, disebutkan ”Penyediaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dimasukkan ke dalam tata ruang wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, kemudian ayat dua menyatakan ”Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah yang mengakibatkan perubahan peruntukan lahan peternakan dan kesehatan hewan, lahan pengganti harus disediakan terlebih dahulu di tempat lain yang sesuai dengan persyaratan peternakan dan kesehatan hewan dan agroekosistem”. Isi pasal-pasal tersebut jelas menyatakan bahwa eksistensi lahan merupakan faktor esensial untuk peternakan. Ketersediaan lahan itu harus menjadi bagian tata ruang suatu wilayah yang kiranya wajib dijaga oleh penyelenggara negara. Kewajiban itu tertulis pada pasal enam ayat satu yaitu “Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan” dan diperkuat oleh ayat tiga yang menyebutkan “Pemerintah daerah kabupaten/kota yang didaerahnya mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budi daya ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum”. Adapun kewajiban dari pemerintah daerah untuk menjaga eksistensi lahan untuk pemeliharaan ruminansia tercermin dari pasal enam ayat lima yang menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota”.
Kehadiran Undang Undang yang menjamin lahan untuk peternakan tentunya merupakan satu langkah maju yang patut dihargai. Melalui Undang Undang itu maka keberadaan sumberdaya hijauan yang dapat diakses petani-ternak dalam komunitas peternakan rakyat menjadi dijamin oleh negara yang dalam hal ini diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten atau Kota. Sangat diharapkan bahwa dengan Undang Undang ini maka lahan sumberdaya pakan hijauan tidak akan mengalami pengurangan akibat pembangunan infrastruktur atau pemekaran wilayah perumahan dan industri.
Walaupun keberadaan lahan sumberdaya hijauan pakan ternak terjamin namun penggunaannya kiranya masih tetap membutuhkan kesepakatan sosial yang kondusif. Hal itu dikarenakan bahwa lahan pangonan yang dimaksud oleh Undang Undang kiranya akan masih tetap bersifat lahan milik umum (common property). Keberlanjutan akses petani-ternak pada lahan umum kiranya menuntut terpeliharanya situasi kondusif dalam komunitas peternakan rakyat. Keadaan tidak kondusif seperti konflik sosial antar warga patut untuk dihindari karena hal itu dapat berakibat pada terganggunya akses masyarakat petani-ternak terhadap hijauan pada lahan-lahan milik umum. Gangguan terhadap akses petani-ternak pada sumberdaya hijauan milik umum itu dapat mengakibatkan keengganan untuk memelihara ruminansia. Apabila keengganan itu terjadi maka lebih lanjut dapat berakibat pada penurunan populasi ternak ruminansia. Memperhatikan hal itu maka kerukunan sosial menjadi suatu faktor penting untuk menjamin keberlanjutan sistem peternakan rakyat ternak ruminansia yang sudah ada hingga saat ini. Kiranya patut diingat bahwa lebih dari delapan puluh persen produksi ternak ruminansia di Indonesia berupa peternakan rakyat yang cara pengadaan pakannya berbasis pada sumberdaya bersifat marjinal milik umum. Dapat dikatakan bahwa industri ruminansia di Indonesia berbasis pada peternakan rakyat. Terkait dengan hal ini maka stabilitas hubungan sosial di kawasan peternakan rakyat menjadi suatu faktor penting yang perlu dijaga untuk keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya hijauan serta sistem industri peternakan ruminansia di Indonesia berbasis pada peternakan rakyat.
Daftar Pustaka.
Subagiyo, I., Wibowo, S.H., Wardoyo. 1984. Pemilikan Ternak dan Lahan Dalam Kaitannya Dengan Suplai Hijauan Pakan Ternak Pada Daerah Usaha Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Nongkojajar. Nuffic-Unibraw. Miscellaneous Paper No. 26.
Ifar, S. 1996. Relevance of Ruminants in The Upland Mixed Farming Systems in East Java, Indonesia. PhD Thesis. Wageningen Agricultural University.
Ifar, A.W. Solichin, H.M.J. Udo, G. Zemmelink. 1996. Subsitence Farmers's Acces to Cattle Via Sharing in Upland Farming Systems in East Java, Indonesia. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences (AJAS) Volume 9 No. 2.
Palte, J.G.L. 1989. Upland Farming on Java, Indonesia: A Socio-economic Study of Upland Agriculture and Subsistence Under Population Pressure. Netherlands Geographical Studies No. 97. Utrecht.
Raffles, T.S. 1817. The History of Java. Cox and Baylis. London.